Awalnya saya merasa bangga dengan terpilihnya diri saya sebagai duta bahasa wakil provinsi Sulawesi Selatan bersama rekan saya,Fadli Hanafi untuk tingkat nasional, akan tetapi setelah saya kembali merenunginya,hal ini bukanlah sesuatu yang sepele dan dianggap hanya sebatas kompetisi saja,setelah selesai dan terpilih menjadi pemenang harapan 3 dr 19 provinsi yang mengikuti ajang serupa di Jakarta oktober lalu. Dari sekian kompetisi yang pernah saya ikuti,harus saya akui memang kalau kompetisi inilah yang memiliki tanggung jawab moril yang besar,bukan masalah apa,ini kaitannya dengan masalah bahasa,yang notabene sangat erat kaitannya dengan jati diri dan moral bangsa. Sungguh merupakan tugas yang sangat mulia sekaligus tanggung jawab yang sangat berat untuk diemban.Namun di lain sisi,saya sangat bersyukur dengan menyandang perdikat sebagai seorang duta bahasa,karena tidak sembarang orang yang bisa menyandang predikat ini,terlebih lagi sebagai seorang Mahasiswa semester 5 seperti saya yang berlatar pendidikan jurusan Bahasa Inggris. Sungguh sangat dilematis,karena saat saya berada di dalam lingkungan kampus,saya di tuntut untuk mampu bercakap bahasa inggris dengan baik dan benar,namun ketika saya berada diluar kampus saya harus berbicara dengan menggunakan bahasa indonesia yang baik dan benar pula. Terkadang sulit untuk memisahkan kapan saatnya saya harus berbahasa inggris dan kapan menggunakan bahasa Indonesia dengan EYD. Karena saya juga kadang,bukan kadang sih,tapi sering menyelipkan beberapa kata dalam bahasa asing, disela-sela perbincangan saya dengan teman-teman atau di forum-forum formal, dan harus saya akui hal ini sangat sulit untuk di pisahkan dan dicegah. Yah,mungkin ini sebuah kebutuhan,ikut-ikutan tren sekarang atau apalah sebabnya ,saya juga kurang paham. Hehehe...jadi curhat deh....
Menilik dari curahan hati saya diatas serta fenomena yang terjadi dikalangan masyarakat,mulai dari kalangan anak-anak sampai orang tua,dari masyarakat biasa sampai para pejabat tidak dipungkiri kalau kita terkena sindrom latah dalam penggunaan bahasa sehari-hari kita. Suatu pertanyaan besar,”Apa yang menjadi peneyebab dari kelatahan ini?”. Beradasarkan apa yang terjadi di sekeliling saya dan hasil beberapa kajian serta diskusi dikampus ,saya hanya bisa mengatakan bahwa kita sangat tergantung dengan sesuatu yang bersifat ASING. Bayangkan saja,mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi,kita berada dalam pengaruh asing,sadar atau tidak semuanya seakan memenjarakan diri kita. Namun,kita juga harus mengakui bahwa kita memang butuh dengan itu semua. Contohnya saja,mulai dari bangun tidur,kita mencuci muka,dengan sabun yang bercapkan unilever yang merupakan merek dagang asing,makan nasi dari penanak nasi,buatan Cina atau Jepang,memakai motor atau mobil buatan Jepang atau keluaran Eropa dan kawan-kawannya. Lihatlah betapa kita sangat bersentuhan dengan segala sesuatu yang berbau asing. Sehingga tidak menutup kemungkinan pengaruh asing juga merambat masuk dalam tataran penggunaan bahasa sehari-hari kita. Pertanyaan selanjutnya muncul,”Lantas,dari fenomena tersebut siapa yang patut untuk disalahkan?”. Suatu pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban menurut saya. Disini saya melihat banyak kejanggalan terjadi,dimana saling tuding terjadi,bahwa pemerintah tidak tegas dalam penggalakan penggunaan bahasa indonesia,dalam hal ini adalah instansi yang terkait, mungkin Balai Bahasa atau Dinas Pendidikan. Tapi, disini kita bukan mau mencari siapa yang salah dan menyalahkan, karena itu tidak akan memberikan solusi yang konkrit. Kurangnya penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar di kalangan masyarakat adalah merupakn fenomena yang lumrah terjadi. Disini saya bisa melihat bahwa kelas Bahasa Indonesia telah menjadi tamu di negeri sendiri, bahasa indonesia berada di kelas dua setelah banyaknya bahasa asing yang masuk di dalam negeri,khususnya bahasa inggris. Mengapa demikian? Sebenarnya ini hanyalah permasalahan kebutuhan dan “Gengsi” semata. Bagaimana tidak, tengoklah, saya menulis sebagai tataran seorang mahasiswi, jika melihat atau mendengar orang berbicara atau menulis dengan menggunakan istilah atau menyelipkan bahasa asing di dalamnya,terkesan bahwa orang yang sedang berbicara itu adalah orang yang berkelas dan memiliki kapasaitas ilmu yang tidak di ragukan. Namun itu adalah sebuah hipotesa yang belum bisa di pertanggungjawabkan kebenarannya. Tapi, ada sebua istilah yang pernah menggelitik telinga saya adalah “ Karakter sesorang tercermin dari Bahasanya” . Entah istilah itu benar atau tidak, tapi saya juga agak sedkit setuju dengan istilah tersebut.
Itulah opini saya tentang bahasa kita sendiri,bahasa indonesia. Bahasa kita seakan menjadi yamu di negeri sendiri. Yang menjadi tuan rumahnya yah bahasa asing itu sendiri,yah misalnya saja, bahasa inggris yang kebanyakan orang memakai dalam percakapan sehari-hari.Dimata saya,bahasa indonesia memang kalah bergengsi dengan bahasa inggris,kenapa??uah,faktor itu tadi,GENGSI nya. Nah,sekarang apa yang mesti kita lakukan,untuk tetap menjadikan bahasa indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri dengan tidak menampikkan keberadaan bahasa inggris dan bahasa asing lainnya dalam negeri kita.yah,tidak muluk-muluk,kiat harus tetap tau dimana kita harus menggunakan bahasa indonesia itu.Misalnya saja dalam forum-forum resmi apalagi yang sifatnya nasional haruslah kita menggunakan bahasa indonesia serta dalam tulisan-tulisan iklan layanan masyarakat yang langsung bersentuhan langsung dengan masyarakat sepatutnya menggunakan bahasa indonesia sepenuhnya,misalnya saja poster pemilihan kepala daerah atau spanduk kegiatan,yah minimal tidak dicampurlah bahasa inggris dengan indonesia. dan satu hal yang pasti bahwasanya kita harus memiliki kekuatan dan kedaulatan kedsalam yang lebih lagi agar kedepannya kita tidak kembali terjajah oleh bangsa kita sendiri... Hidup bangsa indonesia MERDEKA....!!!
(tulisan ini juga saya khususkan untuk diri saya sendiri sebagai bahan pemebeljaran untuk lebih mencintai bahasa indonesia...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar